-Berhentilah menginvestasikan uang brengsek Anda dalam bisnis kotor yang membunuh orang-orang.
Sekitar dua tahun yang lalu, setelah Ayah saya meninggal dunia, sebagai anak laki-laki sudah semestinya saya menyelesaikan urusan-urusan almarhum yang tertinggal di dunia. Salah satunya adalah soal Asuransi jiwa. Kala itu baru pertama kali saya mengurusi asuransi. Sejak saat itu saya berjumpa dengan istilah maupun kondisi yang baru, seperti Polis, Premi, Klaim dan sebuah fakta: begitu rumitnya dunia asuransi.
Ayah saya (semoga damai ia di sana) adalah pensiunan karyawan swasta. Ia berkeluarga sebagaimana banyak orang, punya istri dan tiga orang anak. Bekerja tentu bagi sebagian banyak orang adalah tuntutan untuk merawat keluarga. Demikian dengan ayah saya. Siang malam ia habiskan waktu agar nasi di rumah bisa tetap dihidangkan, anak-anak tetap bisa pergi ke sekolah. Tapi tak selamanya demikian, umur manusia terbatas, namun gerak kehidupan tidak. Seiring anak yang terus tumbuh dewasa ada orang tua yang menjadi semakin tua kemudian renta, lupa lalu tiada.
Melihat proses itulah kemudian peluang tercipta. Ketika orang tua tiada, dibutuhkan jaminan untuk keberlangsungan hidup anak-anak yang ditinggalkan. Maka berlakulah konsep asuransi, otoritas penjamin hal-hal yang demikian. Ia tak hanya berlaku untuk jiwa, tapi apapun, termasuk kesehatan. Bahkan bokong pun bisa, seperti yang dilakukan Jennifer Lopez kepada segumpal bokong aduhainya. Intinya, apapun yang hari ini melekat pada diri anda bisa anda asuransikan. Anda diminta membayar dana premi secara berkala untuk kejadian yang barangkali tidak bisa anda atasi secara finansial kelak di kemudian hari.
Perusahaan asuransi dengan sepenuh hati (di awal) melayani anda. Begitu mudah rasanya ketika anda pertama kali menjadi nasabahnya, tapi tidak ketika anda hendak mengambil uang yang telah anda berikan, di kemudian hari.
Sonia Bonet adalah salah satunya. Perempuan paru baya dengan satu orang anak ini harus marah dan berdarah untuk memperjuangkan klaim asuransi kesehatan milik suaminya. Asuransi Altasalud berkelit mencairkan klaim untuk biaya pengobatan Memo bonet yang terserang kanker ganas dan harus dioperasi dengan biaya yang mahal. Beban biaya yang harus dibayar tak sanggup ditanggung keluarga, maka asuransi menjadi harapan terakhir. Namun yang ada hanya penolakan-penolakan yang diterima Sonia. Mulai dari dokter yang membuat analisis penyakit, hingga komisioner dari asuransi yang membuat rekomendasi, menolak memberi peluang pada proses pencairan.
Sebenarnya ini bukan kejadian nyata. Sonia bonet adalah karakter fiksi dari novel ‘Monster kepala seribu’ atau dalam bahasa Uruguay berjudul ‘Un Monstruo De Mil Cabezas’ karya Laura Santullo penulis asal Uruguay. Buku yang diterbitkn dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh penerbit ‘Marjin Kiri’ ini baru saya selesaikan beberapa hari yang lalu. setelah habis membacanya saya menemukan pengalaman yang kurang lebih sama dengan yang dirasakan si tokoh utama –meskipun tidak semuanya sama.
Dalam novel itu, sonia bonet dihadapakan pada otoritas tanpa cela. Kenyataan jika sang suami mengahadapi situasi yang kritis tidak menjadikan pihak asuransi dengan mudah mencairkan dana premi. Jumlah yang ditanggung terlalu besar. Perusahaan bisa rugi dan tak mau ambil resiko. Dalam hal ini Sonet terjebak, menyadarai jika tak ada lagi yang bisa dilakukan. Maka, seekor binatang buas yang disudutkan tidak akan merintih, dia menggigit.
Tak ada cara lain selain mengancam. Berbekal sepucuk senjata milik suaminya, ia mulai memburu para pihak yang terlibat pada pengambil keputusan di perusahaan Asuransi Altalsalud. Ancaman demi ancama telah ia lakukan ke beberapa orang. Hingga yang terakhir, kepada Nyonya Lorena.
Novel ini dibangun atas plot cerita yang menarik. Sudut pandang yang diambil penulis seperti mengajak anda untuk terlibat dalam sebah penyeledikan. Anda seolah menyaksikan secara langsung para saksi berbicara tentang kronologi tiap kronologi melalui petugas sauna, si pramusaji hingga seorang polisi yang melumpuhan aski Sonia. Tak hanya itu, dari sudut pandang itu pembaca secara langsung diajak memahami kasus secara mendalam dengan tidak hanya menggunakan pertimbangan empiris namun juga menggunakan empati. Dengan demikian, kita ditunjukan jika yang terjadi dalam kasus Sonia tidak sekedar ia yang telah mengancam membunuh banyak orang sehingga menyeretnya pada urusan kriminal tapi ada hal-hal lain yang mempengaruhi sehiinga muncul tindakan itu. Ini seperti sindiran keras dari penulis kepada orang-orang yang hanya melihat suatu kasus secara hitam-putih, benar-salah, se-oposisi biner itu. Padahal, selalu ada unsur-unsur kecil yang kadang luput untuk kita pertimbangkan. Demi keinginan menyelesaikan masalah kita sering menyederhanakan simpul-simpul yang kecil namun sebenarnya sangat penting.
Bagi saya, novel ini terasa begitu dekat. Di sisi lain, melalui ceritanya, penulis seolah ingin menelanjangi bagaimana praktek kerja dan bisnis kotor dalam sirkulasi perusahaaan asuransi kesehatan dijalankan. Wajah kapitalisme sebagaimana kita tahu memang demikian, melahirkan perusahaan-perusahaan yang gila atas orientasi profit lalu seringkali melupakan hak-hak yang dimiliki para konsumen. Hantu-hantu kapitalisme ini tentu saja akan terus mengejar anda, di segala aspek kehidupan anda, tak terkecuali dengan masa depan –sesuatu yang belum tentu terjadi pada diri anda.
Tapi sepertinya, hanya dengan membaca buku ini tidak akan merubah pilihan kita untuk terus mengkonsumsi jasa asuransi, bukan? Lagian, hari gini, siapa sih yang gak pakai dan butuh asuransi.